Senin, 06 Agustus 2012

Pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan

Mungkin bagi sebagian orang pendidikan hanyalah sebuah formalitas belaka untuk mendapatkan sebentuk kertas yang dinamakan ijazah. Tapi dibalik semua itu diperlukan sebuah pemikiran yang matang, serta implementasi dari pendidikan yang telah diraih.


Disisi lain, pandangan khalayak ramai yang terkadang meremehkan orang yang memiliki pendidikan rendah juga tidak bisa dipungkiri. Bahkan, untuk menyatakan bahwasanya ia adalah seorang yang bisa dipandang, harus dilihat dulu ia lulusan apa, kerja dimana, bla.bla.bla...

Berbagai watak orang telah saya temui, tapi saya sangat yakin, itu baru hanya sebagian kecil dari watak manusia yang ada di bumi ini. Hingga kini yang ada dalam pikiran saya adalah, bagaimana menempatkan diri dilingkungan, dimanapun kita berada.

Saya masih ingat beberapa hari lalu, saya menonton acara Perkumpulan Ibu-ibu Real Estat Indonesia (PIREI) Kota Batam Siti Zainab Asy'ari (Istri Menteri Perumahan Rakyat RI), Peggy Enggartiasto Lukita (Istri Anggota Komisi V DPR RI), dan Kepala Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Batam, Nurmadiah. Dalam dialog tersebut, saya mendapatkan banyak, sangat banyak ilmu, baik itu ilmu keluarga (meskipun saya belum berkeluarga), hingga ilmu tentang pengambilan sikap dalam menjalani kehidupan sebagai seorang wanita.

Dari pembicaraan tersebut, wanita dituntut aktif sebagai pendamping suami dalam berumah tangga. Peranan wanita tidak bisa dinilai enteng, karena wanita merupakan kunci sukses dalam perjalanan sejarah sebuah keluarga.

Pertanyaanya, penting nggak sih pendidikan bagi wanita dalam urusan rumah tangga ? jawabannya Sangat....Sangat Penting. Kenapa ? karena wanita lebih banyak berperan aktif dalam mendidik anak-anaknya, sedangkan suami, lebih banyak mencari nafkah. Dilihat dari perkembangan jaman, saat ini telah banyak terjadi emansipasi wanita, dan wanita telah banyak menjadi tulang punggung keluarga, hal ini ternyata tidak bisa dijadikan alasan agar si wanita tidak mendidik anaknya sebelum memasuki bangku sekolah formal.

Hal ini sudah menajdi satu-kesatuan yang alamiah, yang pada dasarnya seorang ibu lebih mudah mengajarkan anaknya akan suatu hal dibandingkan bapak. Hal ini tidak lain karena faktor kontak batin yang telah dibina semenjak si anak masih dalam tahap menyusui dengan sang ibu. Untuk itu, jika menginginkan anak lebih pintar dan cerdas dimasa depannya, ibu seharusnya memiliki wawasan yang luas untuk diajarkan secara bertahap, baik melalui tingkah laku dan kebiasaan kepada anak.

Selain itu, cara berfikir seorang yang cerdas akan turun kepada anaknya, begitu juga jika cara berpikir anak akan rendah kualitasnya, jika ibu tidak pernah mengajarinya sesuatu yang lebih.

Jadi, jika kita ingin menciptakan keluarga yang memiliki wawasan luas, maka wanita harus memiliki wawasan yang luas, dan menimba ilmu, baik secara formal, maupun in formal. Sejatinya, ilmu tidak akan habis meskipun dipelajari hingga akhir hayat.

Ilmu tidak akan didapat, jika tidak dicari.

Ilmu tidak akan ada, tanpa ada usaha untuk mendapatkannya.

Ilmu tidak akan habis meskipun telah kita bagi dengan orang lain.

Jadi, tuntutlah ilmu demi diri dan keluarga anda kela.

Sebagian besar penderitaan banyak diderita oleh kaum perempuan muslim di belahan manapun di dunia ini. Tapi apa yang dimaksud para feminis muslim tersebut, biasanya hanya secara implisit melibatkan moralitas secara universal. Ini menjadikan orang mengkritik bahwa pandangan mereka sangat sempit. Padahal masalah kemanusiaan adalah masalah universal. Masalah belenggu teologis tidak hanya diperuntukkan bagi kaum perempuan muslim an-sich. Tapi seluruh umat manusia di dunia ini.
Pendidikan bagi kaum hawa itu sangat penting apalagi dengan adanya " isu demokrasi dan gender pada umumnya, serta bagaimana meningkatkan representasi " dan kesetaraan perempuan pada khususnya.
Isu keadilan perempuan (gender) sebagai bagian dari keberlangsungan demokrasi masih menjadi wacana yang banyak dipertimbangkan berbagai kalangan, dari semenjak munculnya sebagai sebuah gerakan hingga saat ini. Mulai dari teori psikoanalisa-nya Freud, hingga teori-teori yang khusus menyoroti kedudukan perempuan dalam masyarakat.
Masalah perempuan yang melandaskan pokok pikirannya pada pemilahan antara wilayah harem dan wilayah publik untuk kemudian menyerukan kepada kaum perempuan untuk membuat semacam analisa teks dan sejarah tandingan yang tidak bersifat patriarkal. Karena menurutnya kondisi keterpurukan kaum perempuan adalah disebabkan oleh penafsiran terhadap teks dan penafsiran sejarah yang cenderung partiarkhal.
Yang penting untuk dipakai bahwa memperjuangkan hak-hak perempuan itu tidak bisa dipandang hanya mewakili indiviu atau semata-mata kolektif. antara keterwakilan individu itu dibutuhkan sebagai kontrol pada level pribadi manusia siapapun orang dan berlaku untuk kedua jenis kelamin. Sehingga yang terjadi pada kenyataan yang selalu bermunculan mengenai ketidakadilan terhadap kaum perempuan itu dipandangnya sebagai kasus yang mengancam akan eksistensi nilai-nilai kemanusiaan. Karena sekalipun kejahatan tertentu yang terjadi misalnya, telah menimpa kaum perempuan. Sudah secara otomatis merupakan kejahatan yang menimpa intensitas kemanusiaan secara keseluruhan di dunia ini. Lalu nilai umat kemanusiaan itu sendiri telah berlaku secara universal. Kemudian keterwakilan selama kolektif mengenai perjuangan terhadap kaum perempuan dibutuhkan sebagai fundamental nilai yang mendasari pola-pola dasar secara kolektif kehidupan orang mengenai pentingnya penegakan supremacy of equality, liberty and justicity to women's right.
Di Indonesia sebetulnya pendidikan perempuan sudah dimulai sejak perjuangan RA Kartini untuk dapat memperoleh status sebagai pelajar. Prof. Dr. Zakiyah Derajat juga sosok ilmuwan yang multidimensi, artinya bahwa di era sekarang ini status perempuan dan laki-laki adanya sebuah kesamaan derajat untuk menuju pentingnya pendidikan bagi seluruh umat manusia di dunia ini.
Masyarakat Indonesia dari yang dimulai disebut paling metropol hingga masyarakat yang memiliki pola kehidupan tradisional. Banyak yang enggan untuk memulai pola kehidupan baru yang tidak lagi menjadikan perempuan pada urusan nomer dua dan lebih-lebih terdapat asumsi yang dirasakan wajar jika kaum perempuan itu dijadikan sebagai objek pelecehan hak dan martabatnya baik dalam sektor domestik maupun sektor publik yang dianggap "rawan" fitnah yang secara religius di rasa oleh masyarakat itu membahayakan. Karena adanya adagium, jika perempuan dalam suatu masyarakat itu "rusak" maka akan rusaklah manusia-manusia di dalam masyarakat itu.
Kembali pada persoalan pendidikan perempuan yang ditingkatkan kewenangan  dan posisi structural akan bisa dirasakan betul tingkatnya akibat pelecehan yang mereka derita. Jika terdapat persaingan yang normalnya terjadi dalam komunitas yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Sejarah rintisan pendidikan yang ada di madrasah tercinta kita "Banat NU Kudus" ini adalah sebagai fakta menunjukkan bahwa madrasah putri kita juga mampu bersaing dengan masalah-masalah lain yang disitu terdapat pelajar putra dan pelajar putri. Justru dengan adanya madrasah perempuan, maka ternyata pelajar perempuan pun mampu bersaing dalam segala aspek (seperti memimpin, OSIS, pramuka, PMR, bola voli, dll). Apalagi tertibnya administrasi dan kedisiplinan bagi peserta didik.
Terbukti para alumni juga masuk ke perguruan tinggi baik negeri maupun swasta dan ada juga yang mampu bersaing untuk pertukaran pelajar Indonesia dengan luar negeri. Ini bukti bahwa ternyata pendidikan bagi kaum perempuan itu sangat penting, karena mau tidak mau pelajar atau kader perempuan pun calon pemimpin masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar