Mungkin bagi sebagian orang pendidikan hanyalah sebuah formalitas belaka
untuk mendapatkan sebentuk kertas yang dinamakan ijazah. Tapi dibalik
semua itu diperlukan sebuah pemikiran yang matang, serta implementasi
dari pendidikan yang telah diraih.
Disisi lain, pandangan khalayak ramai yang terkadang meremehkan orang
yang memiliki pendidikan rendah juga tidak bisa dipungkiri. Bahkan,
untuk menyatakan bahwasanya ia adalah seorang yang bisa dipandang, harus
dilihat dulu ia lulusan apa, kerja dimana, bla.bla.bla...
Berbagai watak
orang telah saya temui, tapi saya sangat yakin, itu baru hanya sebagian
kecil dari watak manusia yang ada di bumi ini. Hingga kini yang ada
dalam pikiran saya adalah, bagaimana menempatkan diri dilingkungan,
dimanapun kita berada.
Saya masih ingat beberapa hari lalu, saya menonton acara Perkumpulan
Ibu-ibu Real Estat Indonesia (PIREI) Kota Batam Siti Zainab Asy'ari
(Istri Menteri Perumahan Rakyat RI), Peggy Enggartiasto Lukita (Istri
Anggota Komisi V DPR RI), dan Kepala Kantor Pemberdayaan Perempuan dan
Keluarga Berencana Kota Batam, Nurmadiah. Dalam dialog tersebut, saya
mendapatkan banyak, sangat banyak ilmu, baik itu ilmu keluarga (meskipun
saya belum berkeluarga), hingga ilmu tentang pengambilan sikap dalam
menjalani kehidupan sebagai seorang wanita.
Dari pembicaraan tersebut, wanita dituntut aktif sebagai pendamping
suami dalam berumah tangga. Peranan wanita tidak bisa dinilai enteng,
karena wanita merupakan kunci sukses dalam perjalanan sejarah sebuah
keluarga.
Pertanyaanya, penting nggak sih pendidikan bagi wanita dalam urusan
rumah tangga ? jawabannya Sangat....Sangat Penting. Kenapa ? karena
wanita lebih banyak berperan aktif dalam mendidik anak-anaknya,
sedangkan suami, lebih banyak mencari nafkah. Dilihat dari perkembangan
jaman, saat ini telah banyak terjadi emansipasi wanita, dan wanita telah
banyak menjadi tulang punggung keluarga, hal ini ternyata tidak bisa
dijadikan alasan agar si wanita tidak mendidik anaknya sebelum memasuki
bangku sekolah formal.
Hal ini sudah menajdi satu-kesatuan yang alamiah, yang pada dasarnya
seorang ibu lebih mudah mengajarkan anaknya akan suatu hal dibandingkan
bapak. Hal ini tidak lain karena faktor kontak batin yang telah dibina
semenjak si anak masih dalam tahap menyusui dengan sang ibu. Untuk itu,
jika menginginkan anak lebih pintar dan cerdas dimasa depannya, ibu
seharusnya memiliki wawasan yang luas untuk diajarkan secara bertahap,
baik melalui tingkah laku dan kebiasaan kepada anak.
Selain itu, cara berfikir seorang yang cerdas akan turun kepada anaknya,
begitu juga jika cara berpikir anak akan rendah kualitasnya, jika ibu
tidak pernah mengajarinya sesuatu yang lebih.
Jadi, jika kita ingin menciptakan keluarga yang memiliki wawasan luas,
maka wanita harus memiliki wawasan yang luas, dan menimba ilmu, baik
secara formal, maupun in formal. Sejatinya, ilmu tidak akan habis
meskipun dipelajari hingga akhir hayat.
Ilmu tidak akan didapat, jika tidak dicari.
Ilmu tidak akan ada, tanpa ada usaha untuk mendapatkannya.
Ilmu tidak akan habis meskipun telah kita bagi dengan orang lain.
Jadi, tuntutlah ilmu demi diri dan keluarga anda kela.
Sebagian besar penderitaan banyak diderita oleh kaum perempuan muslim di
belahan manapun di dunia ini. Tapi apa yang dimaksud para feminis
muslim tersebut, biasanya hanya secara implisit melibatkan moralitas
secara universal. Ini menjadikan orang mengkritik bahwa pandangan mereka
sangat sempit. Padahal masalah kemanusiaan adalah masalah universal.
Masalah belenggu teologis tidak hanya diperuntukkan bagi kaum perempuan
muslim an-sich. Tapi seluruh umat manusia di dunia ini.
Pendidikan bagi kaum hawa itu sangat penting apalagi dengan adanya " isu
demokrasi dan gender pada umumnya, serta bagaimana meningkatkan
representasi " dan kesetaraan perempuan pada khususnya.
Isu keadilan
perempuan (gender) sebagai bagian dari keberlangsungan demokrasi masih
menjadi wacana yang banyak dipertimbangkan berbagai kalangan, dari
semenjak munculnya sebagai sebuah gerakan hingga saat ini. Mulai dari
teori psikoanalisa-nya Freud, hingga teori-teori yang khusus menyoroti
kedudukan perempuan dalam masyarakat.
Masalah perempuan yang
melandaskan pokok pikirannya pada pemilahan antara wilayah harem dan
wilayah publik untuk kemudian menyerukan kepada kaum perempuan untuk
membuat semacam analisa teks dan sejarah tandingan yang tidak bersifat
patriarkal. Karena menurutnya kondisi keterpurukan kaum perempuan adalah
disebabkan oleh penafsiran terhadap teks dan penafsiran sejarah yang
cenderung partiarkhal.
Yang penting untuk dipakai bahwa
memperjuangkan hak-hak perempuan itu tidak bisa dipandang hanya mewakili
indiviu atau semata-mata kolektif. antara keterwakilan individu itu
dibutuhkan sebagai kontrol pada level pribadi manusia siapapun orang dan
berlaku untuk kedua jenis kelamin. Sehingga yang terjadi pada kenyataan
yang selalu bermunculan mengenai ketidakadilan terhadap kaum perempuan
itu dipandangnya sebagai kasus yang mengancam akan eksistensi
nilai-nilai kemanusiaan. Karena sekalipun kejahatan tertentu yang
terjadi misalnya, telah menimpa kaum perempuan. Sudah secara otomatis
merupakan kejahatan yang menimpa intensitas kemanusiaan secara
keseluruhan di dunia ini. Lalu nilai umat kemanusiaan itu sendiri telah
berlaku secara universal. Kemudian keterwakilan selama kolektif mengenai
perjuangan terhadap kaum perempuan dibutuhkan sebagai fundamental nilai
yang mendasari pola-pola dasar secara kolektif kehidupan orang mengenai
pentingnya penegakan supremacy of equality, liberty and justicity to
women's right.
Di Indonesia sebetulnya pendidikan perempuan sudah
dimulai sejak perjuangan RA Kartini untuk dapat memperoleh status
sebagai pelajar. Prof. Dr. Zakiyah Derajat juga sosok ilmuwan yang
multidimensi, artinya bahwa di era sekarang ini status perempuan dan
laki-laki adanya sebuah kesamaan derajat untuk menuju pentingnya
pendidikan bagi seluruh umat manusia di dunia ini.
Masyarakat
Indonesia dari yang dimulai disebut paling metropol hingga masyarakat
yang memiliki pola kehidupan tradisional. Banyak yang enggan untuk
memulai pola kehidupan baru yang tidak lagi menjadikan perempuan pada
urusan nomer dua dan lebih-lebih terdapat asumsi yang dirasakan wajar
jika kaum perempuan itu dijadikan sebagai objek pelecehan hak dan
martabatnya baik dalam sektor domestik maupun sektor publik yang
dianggap "rawan" fitnah yang secara religius di rasa oleh masyarakat itu
membahayakan. Karena adanya adagium, jika perempuan dalam suatu
masyarakat itu "rusak" maka akan rusaklah manusia-manusia di dalam
masyarakat itu.
Kembali pada persoalan pendidikan perempuan yang
ditingkatkan kewenangan dan posisi structural akan bisa dirasakan betul
tingkatnya akibat pelecehan yang mereka derita. Jika terdapat
persaingan yang normalnya terjadi dalam komunitas yang terdiri dari
laki-laki dan perempuan.
Sejarah rintisan pendidikan yang ada di
madrasah tercinta kita "Banat NU Kudus" ini adalah sebagai fakta
menunjukkan bahwa madrasah putri kita juga mampu bersaing dengan
masalah-masalah lain yang disitu terdapat pelajar putra dan pelajar
putri. Justru dengan adanya madrasah perempuan, maka ternyata pelajar
perempuan pun mampu bersaing dalam segala aspek (seperti memimpin, OSIS,
pramuka, PMR, bola voli, dll). Apalagi tertibnya administrasi dan
kedisiplinan bagi peserta didik.
Terbukti para alumni juga masuk ke
perguruan tinggi baik negeri maupun swasta dan ada juga yang mampu
bersaing untuk pertukaran pelajar Indonesia dengan luar negeri. Ini
bukti bahwa ternyata pendidikan bagi kaum perempuan itu sangat penting,
karena mau tidak mau pelajar atau kader perempuan pun calon pemimpin
masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar